Miskin? Jangan Kuliah!
Kuliah
kini semakin mahal. Membengkaknya biaya operasional karena inflasi, serta birahi
universitas untuk unggul dari segi infrastruktur menjadi penyebabnya. Sistem
pemeringkatan yang menekankan pada kelengkapan infrastruktur membuat perguruan
tinggi berlomba-lomba membangun gedung megah yang tidak murah. Bahkan di
beberapa universitas, dana pembangunan dibebankan kepada mahasiswa, yang tentu
menambah beban biaya kuliah mereka. Hal ini tentu akan memberatkan orangtua calon
mahasiswa yang akan mendaftarkan anaknya.
Kenaikan
biaya kuliah juga terjadi di provinsi DIY. Dilansir Tirto.id, Bank Indonesia Regional Yogyakarta mengeluarkan hasil
survei bahwa biaya kuliah S1 di Yogyakarta pada tahun 2015 naik 18 persen
dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan biaya kuliah tidak sebanding dengan
kenaikan upah buruh di Yogyakarta. Dilansir Merdeka.com,
pada periode yang sama, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) DIY hanya sebesar
Rp129.200,00 atau 11 persen. Kenaikan upah ini termasuk kecil, mengingat
inflasi yang terjadi di DIY pada periode September 2014—Maret 2015 mencapai
3,06 persen.
Berdasarkan
data tersebut, semakin memperjelas bahwa pendidikan tinggi di DIY hanya dapat
dinikmati oleh masyarakat kalangan menengah ke atas. Ketimpangan ini cukup
memprihatinkan, mengingat UMP DIY merupakan yang terendah di Indonesia, hingga
saat ini. Inflasi yang disertai dengan naiknya biaya kuliah membuat warga
DIY—terutama yang akan menguliahkan anaknya—harus memutar otak untuk mengelola
keuangan domestik mereka.
Bolehlah
kita berdalih bahwa pendidikan tinggi di DIY tidak hanya milik warga lokal
saja. Namun, bila melihat peringkat UMP DIY yang terendah se-Indonesia, tentu
akan sangat menyulitkan bagi lulusan SMA DIY yang kurang mampu untuk mengenyam
pendidikan tinggi di luar daerah. Turut kita ketahui bersama bahwa penentuan
UMP didasari oleh biaya hidup rata-rata suatu daerah. Semakin tinggi biaya
hidup di suatu daerah, maka akan semakin tinggi pula UMP yang ditetapkan.
Fenomena
ini tentu memprihatinkan. Pendidikan tinggi yang seharusnya dapat dienyam oleh
seluruh lapisan masyarakat kini menjadi eksklusif bagi kalangan berduit saja.
Kewajiban negara dalam menyediakan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia
yang tertera dalam konstitusi seakan hanya dijalankan setengah-setengah. Subsidi
yang tidak tepat sasaran turut menyumbang asumsi tersebut. Ketidakseriusan
pemerintah perlu untuk dikritisi bersama-sama.
Peraturan
Menristekdikti Nomor 39 tahun 2017 membawa petaka lebih lanjut bagi calon
mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Pada pasal 8 disebutkan bahwa PTN
berhak menerapkan pungutan tambahan bagi mahasiswa jalur seleksi mandiri. Padahal,
pendaftar jalur seleksi mandiri tidak selalu berasal dari keluarga yang
berkecukupan. Betapa perguruan tinggi kini semakin sulit untuk dijangkau oleh
masyarakat.
Kapitalisasi Pendidikan
Tinggi
Entah
apa yang dipikirkan oleh pemerintah kita. Menristekdikti seakan memuluskan
jalan terciptanya korporat pendidikan di Indonesia. Kebijakan pembentukan
Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), salah satunya. PTN yang
terdaftar sebagai PTN-BH memiliki kuasa penuh untuk mengelola keuangan
internalnya. Bukan hanya itu, PTN-BH juga dapat secara leluasa menentukan
sumber dana operasionalnya tanpa campur tangan pemerintah. Atau sekiranya, PTN
dapat menggaet investor sebagai penyandang dana.
Pengaruh
pemodal dalam pembuatan kebijakan dalam suatu lembaga yang ia modali merupakan
suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Menurut Karl Marx, lembaga yang
dimasuki oleh pemodal dapat menyebabkan sebuah relasi sosial tertentu antara
pemodal dengan lembaga yang diakuisisinya. Tidak dapat dimungkiri, hal ini
dapat pula terjadi bila PTN-BH disusupi oleh bisnis pemodal. Relasi sosial antara
PTN-BH dan pemodal dapat memengaruhi pembuatan kebijakan di internal
universitas. Lebih buruk lagi, kebijakan yang dibuat dapat disasar untuk mengambil
keuntungan ekonomi sebesar-besarnya bagi pemodal maupun manajemen universitas. Misalnya,
menaikkan biaya kuliah seenaknya; dengan selisih keuntungan 200, 300, atau
bahkan 1000 persen lebih tinggi daripada biaya operasional yang seharusnya
dibelanjakan.
Logika
bisnis yang dimiliki oleh para petinggi universitas dapat menjadi bencana pula
bagi pendidikan di dalamnya. Kebutuhan akan dana pengelolaan pendidikan yang
tinggi kemudian menjadi dalih untuk menarik pemodal dari luar. Lantas,
dibuatlah skenario halus yang dapat menuju arah tersebut: pembuatan
peraturan-peraturan yang mendukung komersialisasi pendidikan. Misalnya,
pemberlakuan pungutan di luar uang kuliah tunggal, seperti; sumbangan
pengembangan akademik, uang pangkal atau yang semacamnya. Di beberapa
universitas, pungutan-pungutan semacam itu diberlakukan bagi calon mahasiswa
baru yang bahkan belum mengikuti tes seleksi.
Calon
mahasiswa baru tersebut diminta untuk mengisi nominal tertentu pada borang
pengisian data saat mendaftar pertama kali. Bila diselisik, praktik semacam ini
mengindikasikan bahwa terjadi “main mata” pihak birokrat universitas. Sehingga
dapat berujung kepada jual-beli kursi, yang mana hanya menguntungkan mahasiswa
yang mengisi lebih nominal lebih tinggi. Semakin besar nominal sumbangan yang
dicantumkan, semakin besar pula peluang masuknya. Jika demikian, ilmu
pengetahuan tidak lebih dari sekadar komoditas belaka.
Sinyal-sinyal
komersialisasi pendidikan di Indonesia baru-baru ini semakin gencar. Wacana
pemberlakuan program student loan
atau pinjama mahasiswa akan dicanangkan
pemerintah. Dilansir Kompas.com,
Presiden Joko Widodo memunculkan ide tersebut di hadapan bos-bos perbankan
Indonesia di Istana Negara, Kamis (2018/3/15). Wacana student loan sendiri baru muncul pada kepemimpinan presiden Joko
Widodo.
Program
student loan tidak lebih dari langkah
komersialisasi pendidikan dengan universitas sebagai ‘calo’-nya. Terlepas dari
harapan pemerintah memeratakan pendidikan tinggi, student loan tetap akan menyengsarakan mahasiswa penghutang. Angka
bunga yang tinggi serta jangka waktu pembayaran yang terlampau panjang membuat
mahasiswa dipaksa mengabdikan dirinya untuk mencicil hutang kepada pemerintah.
Tak
hanya student loan, keputusan
pemerintah untuk menurunkan subsidi bantuan operasional perguruan tinggi negeri
(BOPTN) menjadi mara bagi pendidikan Indonesia. Subsidi yang berkurang tentu
membuat PTN harus memutar otak untuk meningkatkan kualitas sistem
pendidikannya, sekaligus meningkatkan infrastruktur demi mencapai peringkat
terbaik. Sistem pemeringkatan yang cenderung menekankan pada hal-hal materiil
ditambah subsidi yang dikurangi, membuat PTN harus mencari cadangan donatur
agar peningkatan mutu pendidikan serta pengembangan infrastruktur tetap berjalan
optimal.
Ketidakseriusan
Pemerintah
Akal
sehat pemerintah seakan sudah hilang. Pikiran pemerintah hanya tentang mencari
keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil mungkin. Pemberian hak otonomi
bagi universitas dalam mencari sumber dana serta pemotongan subsidi BOPTN
membuat pemerintah seakan cuci tangan dari sistem pengelolaan pendidikan
tinggi. Dalih pengalihan dana subsidi ke sektor infrastruktur menjadi
pembenaran.
Mereka
menginginkan bangsa maju, tetapi mengesampingkan hak pendidikan warga
negaranya. Pemerintah selalu berkoar-koar soal revolusi mental, tetapi selalu
hitung-hitungan dalam urusan pendidikan. Pemerintah selalu gencar kampanye
revolusi mental, namun enggan berkorban untuk pendidikan warga negaranya.
Pemerintah mudah sekali menggelontorkan dana untuk pembangunan bandara,
pelabuhan, jalan tol, namun terlalu irit membiayai pendidikan.
Padahal,
bisa saja pengembangan infrastruktur beriringan dengan pembenahan sektor
pendidikan tinggi, dan dengan alokasi dana yang seimbang pula. Pemotongan
anggaran pada sektor yang tidak begitu dibutuhkan, seperti: renovasi gedung
wakil rakyat, pengadaan toilet yang memakan dana milyaran rupiah, serta
pengadaan mobil mewah untuk kendaraan dinas wakil rakyat; dapat menyokong dana
pembenahan 2 sektor tersebut. Selain itu, supremasi hukum perpajakan terhadap
pelaku industri skala besar dan pemberdayaan ekonomi kreatif dapat menjaga
devisa tetap aman tanpa perlu berhutang ke luar negeri. Sehingga, tiada lagi
alasan untuk terlalu mementingkan satu sektor pemerintahan saja.
Kita
semua tentu berharap pemerintah dapat membuat kebijakan dengan lebih bijaksana
dan memihak rakyat secara keseluruhan. Rakyat Indonesia sebagai pemilik kuasa
elektoral seharusnya menjadi prioritas. Karena bagaimanapun, yang duduk dalam
parlemen dan kepala negara dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilu.
Kebijakan yang tidak mementingkan rakyat umum sama saja dengan berkhianat
kepada rakyat itu sendiri. Maka jangan salahkan rakyat apabila ada yang
menuntut janji-janji manis yang diobral sebelum pemilu berlangsung oleh kepala
negara dan anggota parlemen terpilih.
Dimuat di buletin Advokasiana DPM Fakultas Ilmu Sosial UNY
Oktober 2018
Komentar
Posting Komentar